Jumat, 27 April 2012

KETIKA ANGKA 9 ITU LEBIH BAIK DARI ANGKA 5
                Pada dasarnya orang percaya bahwa 7+2=9 sebagai kebenaran yang mutlak. Adakah yang menentangnya? Lama setelah itu orang mulai menganggap bahwa 14+2=19-2 juga sebuah kebenaran. Apakah kebenaran demikian fleksibel bergantung kepad keberterimaan logika? Lalu kenapa -3X-3=9? Logiskah?
                Sejak manusia mulai mengenal jumlah lalu manusia membuat symbol berupa ngka, kebenaran mulai diarak pada aspek kuantitatif. Angka telah menjadi benda, nialai dan nominal yang dianggap mampu merepresentasikan kondisi apa yang ada. Ia, sebagai benda, meng-ada-kan barang-barang maya. Ia, sebagai nilai, leluasa menjawab kekhawatiran subjectivitas. Sebagai nominal, angka menjadi parameter harga; uang, kecantikan, keanggunan, kepribadian, bahkan kesalihan manusia. Tahlil lailahailla angka, diam-diam diamini banyak orang. Tidak ada tuhan selain angka.
                Dalam situasi kemanusiaan yang kacau angka menjadi awal segalanya. Kebahagiaan, kesedihan, keputusan besar, hingga inspirasi laku kehidupan. Bagi para penganutr angka adalah kebenaran yang dapat diterima logika dan karenanya angka digdaya.
            Pada penerimaan rapor setiap akhir semester, mengapa sebagian orangtua tersenyum bahagia sementara lainnya sedih menenggelamkan pandangan, angka dalam rapor dipercaya orang tua lebih nyata dari anaknya. Orangtua lebih mudah menerima kebenaran bahwa angka 9 adalah cerdas dan angka 5 itu bodoh, tidak peduli sekalipun diperoleh dengan cara yang hina yaitu nyontek atau membeli kunci jawaban. Disisi lain orang tua tidak member apresiasi apapun ketika sekali waktu anak bersikap bertanggung jawab; mengaku talah mengambil mangga tetangga, misalnya. Anak dihukum sebab kejujuran belum pernah di-angka-kan. Rumus kuantitatif bahwa mencuri (minus) kejujuran lebih besar dari pada 0 belum ditemukan.
               Pada kasus lain, mengapa seseorang mau mentraktir teman sekantor ketika baru menerima gaji? Kepemilikan seseorang terhadap sejumlah uang membimbingnya berkalkulasi apakah sebuah tindakan perlu dilakukan atau tidak. Mengapa perlu mentraktir teman padahal pada saat yang sama teman menggenggam uang dengan jumlah yang sama atau lebih besar? Tidak ada alasan apapun selain “Karena saya punya uang”. Pengetahuan seseorang terhadap angka membuatnya berani mengangguk menggelengkan kepala.
              Pada ilustrasi pertama, mengapa orang tua member apresiasi atas pencapaian ‘9’ anaknya? Karena orang tua malas mencari tau kemampuan apa yang dimiliki anak dan cenderung bersikap pasrah jika diminta mengawasi anak secara intensif. Pada ilustrasi kedua, mengapa mentraktir teman saat memiliki banyak uang dikatakan benar? Karena ia, sebagai pemegang otoritas pengguna uang, terdorong untuk belanja. Ia malas menerka bahwa enam bulan setelahnya ada saudara jauh membutuhkan biaya amputasi kaki karena kecelakaan lalulintas.
                Ambisi angka mewakili seluruh kondisi barangkali telah terlaksana. Namun, pada saat yang sama distorsi terjadi dimana-mana. Bahkan, akurasi kiblat faktualitas yang diagungkan angka pelahan muali terdistorsi. Pada kasus pembulatan misalnya, sesuatu yang ada dianggap tiada. Angka angkuh melabeli sesuatu yang ada sebagai sesuatu tanpa makna.
            Kebenaran kuantitatif yang direpresentasikan melalui angka barangkali hanyalah kebenaran konvensional. Kecocokan antara angka dengan kondisi yang diwakili hanya kesepakatan. Maka ketika kesepakatan, atas sebuah pertimbangan, diubah, berubah pula makna yang ada didalamnya. Angka kemudian menempati peran baru sesuatu kesepakatan yang baru yang telah dibuat.
           Ketika fakta yang telah diwakili angka, mau tidak mau kita telah memasuki dunia kode. Penerjemahan kode harus cermat betul karena angka tidak ditentukan berapa besarnya, melainkan kebermaknaan yang melekat didalamnya. Angka, ketika menjadi nominal sangat berharga, namun ketika menjadi subtitusi fakta bisa menjadi sama sekali tidak bermakna. Bukan tidak mungkin, deretan angka hanya simulacrum yang simulasinya hilang dibelantara.
                Maka dari itulah, tradisi mengangkatkan tidak semestinya menggantikan fakta. Relasi keduanya harus tetap dijaga sebagai petanda dan penanda, sebagai benda dan rujukan, dan sebagai keadaan dan representasi. Kepercayaan berlebih terhadap angka dikhawatirkan menjauhkan manusia pada realitas kehidupan yang dihadapinya. Orang tua lupa pada potensi anaknya, Negara lupa pada kelaparan rakyatnya, atau bahkan kita lupa pada peran sosial kita sebagai manusia yang harus bermanfaat bagi lingkungannya.
oleh : rahmat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar