Pada
dasarnya orang percaya bahwa 7+2=9 sebagai kebenaran yang mutlak. Adakah yang
menentangnya? Lama setelah itu orang mulai menganggap bahwa 14+2=19-2 juga
sebuah kebenaran. Apakah kebenaran demikian fleksibel bergantung kepad
keberterimaan logika? Lalu kenapa -3X-3=9? Logiskah?
Sejak
manusia mulai mengenal jumlah lalu manusia membuat symbol berupa ngka,
kebenaran mulai diarak pada aspek kuantitatif. Angka telah menjadi benda,
nialai dan nominal yang dianggap mampu merepresentasikan kondisi apa yang ada.
Ia, sebagai benda, meng-ada-kan barang-barang maya. Ia, sebagai nilai, leluasa
menjawab kekhawatiran subjectivitas. Sebagai nominal, angka menjadi parameter
harga; uang, kecantikan, keanggunan, kepribadian, bahkan kesalihan manusia.
Tahlil lailahailla angka, diam-diam
diamini banyak orang. Tidak ada tuhan selain angka.
Dalam
situasi kemanusiaan yang kacau angka menjadi awal segalanya. Kebahagiaan,
kesedihan, keputusan besar, hingga inspirasi laku kehidupan. Bagi para
penganutr angka adalah kebenaran yang dapat diterima logika dan karenanya angka
digdaya.
Pada
penerimaan rapor setiap akhir semester, mengapa sebagian orangtua tersenyum
bahagia sementara lainnya sedih menenggelamkan pandangan, angka dalam rapor dipercaya
orang tua lebih nyata dari anaknya. Orangtua lebih mudah menerima kebenaran
bahwa angka 9 adalah cerdas dan angka 5 itu bodoh, tidak peduli sekalipun
diperoleh dengan cara yang hina yaitu nyontek atau membeli kunci jawaban.
Disisi lain orang tua tidak member apresiasi apapun ketika sekali waktu anak
bersikap bertanggung jawab; mengaku talah mengambil mangga tetangga, misalnya.
Anak dihukum sebab kejujuran belum pernah di-angka-kan. Rumus kuantitatif bahwa
mencuri (minus) kejujuran lebih besar dari pada 0 belum ditemukan.
Pada
kasus lain, mengapa seseorang mau mentraktir teman sekantor ketika baru
menerima gaji? Kepemilikan seseorang terhadap sejumlah uang membimbingnya
berkalkulasi apakah sebuah tindakan perlu dilakukan atau tidak. Mengapa perlu
mentraktir teman padahal pada saat yang sama teman menggenggam uang dengan
jumlah yang sama atau lebih besar? Tidak ada alasan apapun selain “Karena saya
punya uang”. Pengetahuan seseorang terhadap angka membuatnya berani mengangguk
menggelengkan kepala.
Pada
ilustrasi pertama, mengapa orang tua member apresiasi atas pencapaian ‘9’
anaknya? Karena orang tua malas mencari tau kemampuan apa yang dimiliki anak
dan cenderung bersikap pasrah jika diminta mengawasi anak secara intensif. Pada
ilustrasi kedua, mengapa mentraktir teman saat memiliki banyak uang dikatakan
benar? Karena ia, sebagai pemegang otoritas pengguna uang, terdorong untuk
belanja. Ia malas menerka bahwa enam bulan setelahnya ada saudara jauh
membutuhkan biaya amputasi kaki karena kecelakaan lalulintas.
Ambisi
angka mewakili seluruh kondisi barangkali telah terlaksana. Namun, pada saat
yang sama distorsi terjadi dimana-mana. Bahkan, akurasi kiblat faktualitas yang
diagungkan angka pelahan muali terdistorsi. Pada kasus pembulatan misalnya,
sesuatu yang ada dianggap tiada. Angka angkuh melabeli sesuatu yang ada sebagai
sesuatu tanpa makna.
Kebenaran
kuantitatif yang direpresentasikan melalui angka barangkali hanyalah kebenaran
konvensional. Kecocokan antara angka dengan kondisi yang diwakili hanya kesepakatan.
Maka ketika kesepakatan, atas sebuah pertimbangan, diubah, berubah pula makna
yang ada didalamnya. Angka kemudian menempati peran baru sesuatu kesepakatan
yang baru yang telah dibuat.
Ketika
fakta yang telah diwakili angka, mau tidak mau kita telah memasuki dunia kode.
Penerjemahan kode harus cermat betul karena angka tidak ditentukan berapa
besarnya, melainkan kebermaknaan yang melekat didalamnya. Angka, ketika menjadi
nominal sangat berharga, namun ketika menjadi subtitusi fakta bisa menjadi sama
sekali tidak bermakna. Bukan tidak mungkin, deretan angka hanya simulacrum yang
simulasinya hilang dibelantara.
Maka
dari itulah, tradisi mengangkatkan tidak semestinya menggantikan fakta. Relasi
keduanya harus tetap dijaga sebagai petanda dan penanda, sebagai benda dan
rujukan, dan sebagai keadaan dan representasi. Kepercayaan berlebih terhadap
angka dikhawatirkan menjauhkan manusia pada realitas kehidupan yang
dihadapinya. Orang tua lupa pada potensi anaknya, Negara lupa pada kelaparan
rakyatnya, atau bahkan kita lupa pada peran sosial kita sebagai manusia yang
harus bermanfaat bagi lingkungannya.
oleh : rahmat
oleh : rahmat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar